Senin, 19 Maret 2012

Hilang

Kamu tahu bagaimana rasanya kehilangan sesuatu tapi tak tahu apa?

Kau tahu rasanya berjalan disebuah ruang waktu yang dengan cepat bergerak tapi tak membawa mu kemana-mana, diam ditempat.

Kamu lengkap, kamu utuh, tapi kamu tak benar-benar hidup.



Tuhan, hari ini aku menangis akan rencana masa lalu.




Bagaimana dulu sebuah idealisme tercipta, "apa pun pekerjaanku nanti, musik adalah sampingannya"

Bagaimana dulu aku bermimpi ingin menjadi penulis yang bermusik seperti Dewi Lestari,

Ingin menjadi dokter yang bermusik seperti Tompi.

Tapi coba lihat siapa aku sekarang?

.........tak lebih dari seorang robot musik.

Bermain musik hanya karena kewajiban tak ingin rugi setelah membayar ratusan ribu.

Bermain musik cuma ingin menunjukan pada orangtua bahwa mereka tak rugi telah membiayai aku sejauh ini.




Dan kau tahu, hari ini aku rindu........

Aku rindu dimana musik dulu adalah sebuah idealisme yang  kujunjung tinggi eksistensi nya

Bermain musik sepenuh hati karena hanya satu alasan sederhana; Suka

Dan demi Tuhan aku rindu akan rasa itu...

Jumat, 16 Maret 2012

This What I Called, Cuco

Tanggal 11-14 Maret kemarin aku pergi liburan bareng temen-temen. Tapi ini bukan sekedar liburan. Liburan ini 100 kali lebih asik daripada liburan bareng keluarga dan sama rombongan sekolah. 100 lebih rame daripada liburan dvd marathon sampe mata merah, kepala pusing.

Tau ga kenapa?
Karena ini adalah liburan yang menjelajah menjauhi kemewahan, berpetualang mencari jalan yang menantang, mengembara berbekal utama semangat di dada bersama teman-teman dekat tercinta.




Backpacker to Jogja.



----------------------


Backpackeran kali ini dimulai dengan berkumpulnya aku, Riva, Semeru, Haidar, Andera, Ferry dan Rifqi di stasiun Kiaracondong pada tanggal 11 Maret 2012. Yap, sebagai seorang backpacker, kita memegang teguh prinsip "Selama ada yang murah, nyaman dan efisein, kenapa engga?". Jadilah kita naik kereta ekonomi Kahirupan. Kereta Kahirupan ini bener-bener ngajarin kehidupan. Gimana kita harus bisa bertoleransi terhadap kenyamanan kita sendiri, gimana kita harus apik menjaga barang biar ga dicuri, gimana kita harus pinter bersosialisasi sama seluruh kalangan. Bener-bener pengalaman baru yang ga sebanding dengan harga tiketnya yang cuma Rp.35.000


Day 1

Setelah melaksanakan kurang lebih 9,5 jam perjalanan sampailah kita di kota Jogja. Kita berhenti di stasiun Lempuyangan dan langsung nyari mesjid buat sholat subuh. Setelah sholat, datanglah Kiky yang udah di Jogja sehari sebelumnya dan kita langsung caw dari stasiun.

St.Lempuyangan yang rapi dan tertib
 

Perut keroncongan semaleman di kereta, pas keluar stasiun langsung disambut sama warung soto. Alhasil, 9 backpackers lansung ngisi amunisi di Soto Pak Kadi di depan St.Lempuyangan. Makan soto, teh anget sambil nikmatin suasana Jogja di pagi hari masih dengan backpack menggantung dipunggung. Mantap.

Setelah makan pagi, kita langsung menuju penginapan di daerah Sosrokusuman yang jaraknya kurang lebih 4km dari stasiun Lempuyangan. Lumayan jalan-jalan pagi coy men bro sist.

 Di depan penginapan

Sesampainya di Hotel Puri, kita ber-9 langsung istirahat, mandi dan beres-beres untuk perjalanan pagi ini. Tujuan pertama kita tanggal 12 Maret waktu itu adalah Keraton Jogja yang kita tempuh dengan jalan kaki dari Malioboro dan jaraknya kurang lebih menurut skala Hani adalah 2km.

Di keraton atas saran my babeh, kita nyewa guide biar tau sejarah keraton. Jadi wisata tuh ga cuma ngisi pengalaman tapi ngisi otak juga. Serasa belajar sejarah tapi 10000 kali lebih menyenangkan.




Udah puas di Keraton, next destination was Taman Sari! Taman Sari di Bandung tentunya beda sama Taman Sari di Jogja. Taman Sari tuh tempat keluarga Keraton dulu mandi (atau berenang lebih tepatnya, karena ga mungkin kita mandi ngejebur di kolam ukuran 10x12m #skalahani).

 Andera arab nyasar, Hani pipi tembem

Next! Setelah cape berjalan kaki Malioboro-Keraton-Taman Sari, kita nyari tempat peristirahatan yang gratis, adem, dan paling dicintai backpackeran kemanapun mereka berada. Apa lagi kalo bukan masjid! Ngeliat jam udah menunjukan pukul 12 siang, kita segera hengkang dari Taman Sari menuju Mesjid Gedhe di Alun-Alun deket Keraton. Disana kita sholat dan tidur-tiduran bentar mengingat udara di luar sana udah setara temperatur ruang sauna sembaru mengisi energi untuk destinasi selanjutnya yaitu Candi Prambanan. 

Perjalanan ke Candi Prambanan ditempuh kurang lebih 35 menit menggunakan Trans Jogja( salah satu kendaraan yang paling kita gemari karena selain murah juga salah satu spot untuk ngadem~).Wisata ke candi ini merupakan wisata dengan biaya tiket termahal yaitu Rp. 30.000. Tapi itu worth it kok.





Prambanan amazed me soo much. Tapi sayang, pas kita lagi asik-asik liatin candi, langit tiba-tiba saja memuntahkan air, angin dan petir. Jadilah kita berlari-lari nyari pos buat berlindung. 

Hari ini kita merasakan perubahan udara yang begitu kontras, dari super panas ke totally dingin. Ketika kita minta Allah memberikan sedikit angin, Allah malah ngasih angin super besar beserta air dan gemuruh petir. So what should we do except being grateful :').

Puas ngebolang seharian, malam harinya kita lanjutkan dengan wisata kuliner. Tujuan utama malem ini adalah ke angkringan yang ngejual kopi jos. Kopi jos tuh kopi item yang dikasih areng di dalemnya jadi bunyi nya 'joos'. Ga cuma extra joss yang bisa nge-jos kan? #apaatuhhan.



Nangkrin malem-malem bareng temen-temen diiringin kecrekan pengamen jalanan dan jajanan ramah kantong tuh adalah salah satu kebahagiaan yang pertama kali aku rasain. Kebahagiaan yang ga bakal kalian dapet dimana-mana kecuali di kota pelajar bernama Jogja :).


Day 2

Setelah kemarinnya dihabiskan untuk wisata sejarah. Hari ini tujuannya adalah wisata alam! Wisata alam ke Parangtritis dan Kaliurang yang jaraknya cuma 2 jengkal di peta tapi puluhan kilometer jarak sesungguhnya. Hari itu kami lewati dari panti hingga gunung. Dari daerah panas ke daerah sejuk. Pokoknya cucoooooo bangeeeeeet. 

Pagi hari diawali dengan sarapan nasi gudeg Rp.10.000 di Malioboro lalu dilanjutkan dengan menaiki Trans Jogja menuju St.Giwangan. Dari Giwangan, kita naik kendaraan umum menuju Parangtritis.

Sebenernya aku ga begitu pingin ke pantai soalnya puaaanas buanget mamen. Tapi selama 6 tahun tinggal di Jawa aku sama sekali ga pernah mengingjakan kaki di Parangtritis, soo what i'm waiting for? Go Parangtritis!

Pantai Parangtritis
 
Perjalanan ini semua kita tempuh sama Trans Jogja dan kendaraan umum. Untuk transportasi aja hari ini menghabiskan Rp.59.000. Memang agak mahal sih, mengingat kita bepergian dari ujung Jogja ke ujung lainnya.

Kaliurang tuh nama daerah pegunungan di Jogja, semacam Lembangnya Bandung lah. Disini banyak objek wisata Gn.Merapi karena memang puncak Kaliurang jaraknya cuma 2km ke Gn.Merapi. Sedihnya, banyak objek wisata disini rusak gara-gara erupsi Merapi baru-baru ini.



 Di Taman Wisata Plawangan Turgo

Pukul 18.30 kita sampai di penginapan tercinta dan istirahat lumayan lama karena kita berencana untuk wisata kuliner di lesehan, dimana lesehan itu buka jam 9 malem.

Lesehan di Malioboro adalah semecam kaki lima yang buka di depan toko yang udah tutup dan biasanya nama lesehan itu sendiri diambil dari nama toko yang etalasenya dipake untuk tempat jualan.



Singkat kita makan di Lesehan Terang Bulan. Lesehan tercuco yang pernah ada. Makan lahap ditemani kuliner rasa mantap dan musik dari musisi jalanan berskill menyanyikan lagu lawas hingga lagu masa kini. I've never imagined that live could be soooo amazing like this~~~.


Day 3

Hari terakhir... Ga kerasa banget udah 3 hari di Jogja dan kita pun agak distracted sama tujuan hari ini karena wisata must visit  di Jogja rasanya udah dikunjungi semua. Akhirnya setelah berunding panjang,
kita yang awalnya berencana ke Candi Borobudur memutuskan untuk ke Kotagede mengingat kita harus pulang ke Bandung pukul 20.30.

Kota gede itu kawasan perak di Jogja. Emang agak geje sih ke sini liat perak, because we really didn't put any interest in silver. Beruntungnya, aku punya rekomendasi tempat lain selain tempat kerajinan perak di Kotagede yaitu Makam Raja Mataram Kuno. Sayangnya disini ada peraturan untuk ga ngambil foto :(.

Selesai berkunjung ke makam, rahang udah kering kerontang minta diisi cairan. Soo we went straight to Warung Sido Semi which is the oldest warung at Kotagede. Makanan nya murah-murah tapi rasanya ga murahan.

Setelah perut kenyang kita langsung ambil langkah 1000 ke Malioboro untuk belanja oleh-oleh. Jadi selama beberapa jam terakhir kita di Jogja, kita habiskan dengan berbelanja. Oya untuk informasi, di hari ke-3 kita jalan-jalan sambil bawa-bawa backpack soalnya kita udah ga mesen kamar. Jadi di hari ke-3 ini bener-bener kerasa turisnya karena jalan kemana-mana sambil bawa-bawa ransel guede.

Ga kerasa semua kegiatan ini udah menyita waktu dan tiba-tiba aja udah jam 19.45. Kita harus cepet-cepet ke Lempuyangan kalo ga mau ketinggalan kereta. Alhasil, kita berjalan setengah lari dari Malioboro ke Lempuyangan dengan beban yang bertambah di punggung karena ransel yang makin menggembung.





4 kilo meter.
2,5 mil. 
Terburu-buru meninggalkan kota yang telah memberi banyak kenangan dan pelajaran.
Dilatari tawa bahagia dan salam perpisahan yang panjang dari 9 anak manusia yang sedang mencari pengalaman. 
Kami pulang......


 
Jogja, izinkanlah kami untuk pulang lagi. Bila hati sepi dan tak dapat terobati.....





Selasa, 21 Februari 2012

Tuhan, Adil dan Takdir

Siang itu, berawal dari obrolan hangat seputar ulangan yang baru saja selesai dikerjakan lama-lama terciptalah obrolan ngalor ngidul dan membuat bentang benang topik obrolan menjadi semakin panjang dan bekelok-kelok hingga akhirnya kami berhenti suatu topik yang akhirnya menjadi perdebatan. Tiga lawan satu. Dua sisanya menjadi penonton.

Kami bicara tentang; Tuhan, Keadilan dan Takdir.

Si single-fighter bersikukuh mempertahankan argumennya bahwa yang namanya takdir itu tidak bisa diubah. Fix. Takdir itu bagaikan kontrak yang sudah dibuat manusia dengan Tuhannya pada masa dimana alam semesta pun sepertinya belum tercipta.

Tim oposisi beranggotakan 3 dan berketua 'si anti-telur' tetap pada pendiriannya mengatakan bahwa takdir itu dapat diubah asalkan kita berusaha dan berdoa. Ia berargumen apabila takdir tak bisa diubah maka Tuhan tidak adil.

Single fighter menganggap itu adalah alasan klise yang digunakan orang dari zaman Boedi Utomo hingga kini agar manusia mau berusaha. Klise. Sederhana. Membosankan.
Single fighter pun menjelaskan alasannya mengapa sebuah takdir tak dapat diubah. Hidup memang unfair.

Si anti telur makin tajam mengeluarkan alasan. Bukan hanya alasan bahkan, filosofi pun ia ciptakan. Lama ia menjelaskan hingga akhirnya tibalah si anti telur ini pada sebuah kalimat yang membuat single fighter terkatup bibirnya enggan berkata, diam 1000 bahasa.


      "Maneh tau, urang ga pernah nyesel ada disini"
           
                                  
      "Allah itu kaya orang tua kita. Misalnya ada anak kecil yang mau kelereng, tapi orang tuanya tau kalo anak itu dikasih kelereng, kelerengnya bakalan dimakan. Mau nangis sampe gimana juga si orang tua pasti ga bakal ngasih kelereng itu. Karena orang tua itu sayang sama anaknya, Allah juga gitu"


                                "Manusia itu ga luput dari cobaan"


  "Makanya, sekarang urang ganti doa urang setiap abis solat. Doa urang sekarang gini; Ya Allah, semoga   yang hamba inginkan adalah yang Engkau rencanakan"

      
             "Kata urang kalo takdir ga bisa diubah itu namanya ga adil" 

Si single fighter diam. Mati kutu. Diam bukan karena merasa kalah. Diam karena merasa tersentil dengan ucapan tim oposisi. Dari situ, si single fighter menyimpulkan sendiri bahwa Tuhan, Adil dan Takdir itu berjalan beriringan. 


Seirama.



Seritme.


Irama dan ritme indah itu akan terdengar nanti. Tuhan tahu tapi menunggu. Ketika waktunya tiba dan segalanya akan menjadi indah....


-------

Sepulang dari sekolah, di dalam angkutan umum, seorang anak perempuan berseragam putih abu-abu duduk melihat dunia dengan cara pandang yang sama sekali berbeda. Memandang, bahwa keadilan adalah bagi siapa saja yang berlaku benar.

Karena Tuhan, Adil dan Takdir itu satu,


mengalir sejalan,


tak terpisahkan.

Minggu, 12 Februari 2012

GIDEON

28 Desember 2011- 1 Januari 2012



Mencoba bagaimana rasanya menyatu dengan alam



Membiarkan mental mengalahkan keterbatasan fisik
 

  

Merasakan dinginnya malam tanpa selimut




Seberat apapun beban dipunggung
Seberat apapun beban dipikul
Dan selelah apa pun fisik dan mental bertarung,




Kita harus tertawa
Sebagaimana kita menertawakan kesedihan dalam hidup



Kita harus saling membantu
Satu untuk semua,
Semua untuk satu


 
 Karena pada akhirnya, 
Beban itu akan terlepas


 

Dan sebuah pengalamanlah
yang menjadikan kita sosok yang lebih baik




Dan tersadar bahwa setiap manusia akan selalu merasa miskin,
sebelum ia bersyukur



NAMA, HANI DWI HAPSARI. NRS EX G 3304, ALAS DIWANGKARA! GIDEON!





Kamis, 22 Desember 2011

Terima Kasih

Sekarang aku tahu. Bagaimana rasanya jatuh, lalu perlahan bangkit. Sedikit demi sedikit menghubungkan tali yang sempat putus, merangkai simpul yang sempat tak keruan. Jika memang masalah yang dihadapi seseorang itu adalah evaluasi agar menjadikan dirinya lebih baik, maka Tuhan, aku percaya bahwa yang terjadi semuanya adalah yang terbaik. Aku percaya. Aku-harus-percaya. 

Terima kasih telah membuat Ibu tersenyum bangga lagi, Tuhan. 

Alhamdulillah. :')

Sabtu, 29 Oktober 2011

Mencakar Langit

Umpamakan aku adalah sebuah calon gedung pencakar langit. 

Ya, calon. 

Semen, bata, besi dan bajanya adalah barang-barang kualitas terbaik meski bukan termahal.

Lantai demi lantai terus dibangun. Meningkat. Meningkat. 

Tinggi, tinggi dan tinggi. Sampai-sampai orang-orang harus menengadahkan kepala mereka jika ingin melihat lantai teratas gedung ini. 

Semen terus diaduk, batu-bata dicetak, besi dan baja disusun sedemikan rupa agar gedung bisa berdiri tegak.
Konstruksi yang kokoh, arsitektur yang indah. Ini akan menjadi gedung yang amat megah.

Namun pada suatu hari, tanpa pertanda tanpa disangka datanglah sebuah gempa bumi. 

Gempa bumi yang meluluh lantakan si calon gedung pencakar langit.
Teganya, gempa hanya menyisakan sedikit bagi gedung itu. Ia hanya menyisakan fondasi yang rapuh dan puing-puing kaca yang sempat berkilau hanya sesaat sebelum gempa menghancurkan semuanya. Sisanya? Hancur berantakan, hancur tak keruan. 

Gedung bersedih. Bagaimana ia bisa meneruskan mencakar langit apabila kini ia sibuk dengan mengumpulkan puing-puing dirinya sendiri, menata ulang yang telah hancur dan membersihkan debu-debu yang ditinggalkan gempa. Sedangkan, gedung lain bisa meneruskan pembangunan tanpa gangguan yang berarti.

Si calon pencakar langit tertinggal. 

Terdiam ia karena putus asa. Habis pikir dan hilang akal akan apa yang akan ia lakukan untuk membangun semuanya dari awal lagi. Dari nol kembali. 

From zero nearly to be hero but come back to zero again.

Lama ia terpaku dalam kesedihan hingga lama kelamaan, seiring dengan berjalannya waktu ia akhirnya tahu apa yang harus ia lakukan.

Akhirnya, setelah sekian lama. Sekian lama memeras otak, si calon gedung mendapatkan jalan keluar.
Yang harus ia lakukan adalah: memperkuat fondasi dan kerangka bangunan. Artinya, ia akan memperkuat fondasi dan kerangka dirinya sendiri.

Pembangunan dilanjutkan, walaupun ia sudah banyak tertinggal.

Biarlah.

Biarkan saja gedung lain sudah tinggi, sudah mulai memantulkan sinar terang dari lampu-lampu jalanan.

Biarlah.

Biarkan gedung lain sudah mencakar langit sedangkan dia masih berusaha untuk memperkuat fondasi.

Satu yang membuat 'si mantan gedung putus asa' ini yakin adalah, bila nanti gempa datang lagi, badai atau angin topan yang berlalu menyapa; ia-tidak-akan-tumbang-lagi. Ia akan tetap kokoh berdiri tegak karena ia mempunyai fondasi dan kerangka yang lebih kuat dari sebelum ia hancur. 

Dan pembangunan pun terus berlanjut, dan akan terus berlanjut hingga akhirnya si calon gedung pencakar langit ini sudah bukan 'calon' lagi melainkan sudah menjadi gedung pencakar langit yang sesungguhnya. Hingga akhirnya ia berdiri dan tidak hanya memantulkan sinar lampu jalanan saja, tapi memancarkan sinarnya sendiri.

Terang namun hangat. Berkilau namun tidak menyilaukan mata. 

Menerangi sekitarnya.

Menjadi tempat berlindung bagi siapa pun yang tinggal di dalamnya.


Kamis, 22 September 2011

Puisi yang Menginspirasi

Halooo, udah lama ga ngepost. Hahaha angger ya aku teh, setiap kalimat pembukaan dalam setiap post adalah "udah lama ga ngepost". Aku memang blogger kafir (?). Postingan kali ini, aku mau ngpost tentang puisi-puisi yang aku suka. Dari dulu aku memang suka puisi, tapi aku ga pinter buat puisi. Aku tipe penikmat bukan pencipta #eaea. Oke, langsung saja yaahh. *kibas rambut* *sok-sok Syahrini*

Puisi pertama


Puisi B.J Habibie untuk Almh. Ainun Habibie

Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu.

Karena, aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya,
dan kematian adalah sesuatu yang pasti,
dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu.


Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat,


Adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang, sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati, hatiku seperti tak di tempatnya, dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi.


Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang.
Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang,
Pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit manis selama kau ada,
Aku bukan hendak mengeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau disini.
Mereka mengira aku lah kekasih yang baik bagimu sayang,
tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik.


Mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua, tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini.


Selamat jalan,


Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya,
kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada.


Selamat jalan sayang,
cahaya mataku, penyejuk jiwaku,


Selamat jalan,
calon bidadari surgaku ….

......

Gila. Keren. Banget.
Itu adalah kesan pertama aku waktu baca puisi ini. Juga pas pertama kali aku baca puisi ini, aku tersentuh banget. Puisi ini bener-bener memperlihatkan kecintaan Pak Habibie sama Almarhumah istrinya. Ga ada kata gombal, cuma kata-kata sederhana tapi sarat makna. Perempuan mana coba yang ga bakal tersentuh hatinya kalo dibuatin puisi setulus dan seindah itu....

Siap untuk puisi kedua?

*spotlight kedap-kedip*

This is it!

-----
Puisi kedua

Tentang Seseorang


Ku lari ke hutan kemudian menyanyiku,

Ku lari ke pantai kemudian teriakku
Sepi..sepi dan sendiri aku benci
Ingin bingar aku mau di pasar..
Bosan aku dengan penat
Enyah saja kau pekat
Seperti berjelaga jika ku sendiri


Pecahkan saja gelasnya biar ramai
Biar mengaduh sampai gaduh


Ada malaikat menyulam jaring labah-labah belang di tembok keraton putih
Kenapa tidak kau goyangkan saja locengnya biar terdera
Atau aku harus lari kehutan
Belok ke pantai..?

Bosan aku dengan penat
Dan enyah saja kau pekat
Seperti berjelaga jika ku sendiri

........

Wiiizzzz. Kenapa coba aku suka puisi ini? Ada yang tau? Oke, kalo tau acungkan jari nya *jeda 10 detik kaya di Dora* #apasihhan. Puisi ini tuh terkenal banget gara-gara pertama dibacain sama Dian Sastro dalam salah satu adegan film AADC. Puisi ini juga familiar banget dengan kata-kata "pecahkan saja gelasnya biar ramai, biar mengaduh sampai gaduh". Nah, alasan aku suka puisi ini adalah cara Dian Sastro ngebacainnya tuh natural banget, apalagi kalo didengernya pake backsound lagu Menghitung Hari nya Anda. Langsung galau athomsphere bakalan sekejap tercipta itu mah. Tapi puisi ini emang keren, walaupun jujur aku masih sedikit bingung tentang arti puisi ini secara utuh.

Okay, siap untuk puisi selanjutnya?

*drum roll*

*ambil nafas* *buang nafas*

Ini dia!

-----

Doa Seorang Ayah


Tuhanku,

Bentuklah putraku, menjadi manusia yang cukup kuat
Untuk menyadari manakala ia lemah
Dan cukup berani untuk menghadapi dirinya sendiri manakala ia takut
Manusia yang merasa bangga dan teguh dalam kekalahan,
Rendah serta jujur dalam kemenangan

Bentuklah putraku, menjadi manusia yang kuat dan mengerti
Bahwa mengetahui dan kenal akan dirinya sendiri
Adalah dasar dari ilmu pengetahuan


Tuhanku,
Janganlah putraku Kau bimbing di atas jalan yang mudah dan nyaman
Tapi bimbinglah ia di bawah tempaan dan
Desak kesulitan tantangan hidup
Bimbinglah putraku agar tegak di tengah badai
Dan berbelas kasihan pada mereka yang jatuh


Bentuklah putraku, menjadi manusia yang berhati bening,
Dengan cita meninggi langit
Manusia yang sanggup memimpin dirinya sendiri
Sebelum ia berhasrat memimpin orang lain
Manusia yang menggapai kegemilangan hari depan
Tanpa melupakan masa lampau


Dan setelah semua menjadi miliknya,
Lengkapilah ia dengan rasa humor,
Agar ia besungguh-sungguh tanpa menganggap dirinya terlalu serius


Berikanlah padanya kerendahan hati
Kesederhanaan dari keagungan hatiku
Keterbukaan pikiran bagi sumber kearifan
Dan kelembutan dari kekuatan sebenarnya

Setelah semua tercapai,
Aku ayahnya berani berbisik,
"Hidupku tidaklah sia-sia"

 
Man, did you get merinding ga sih waktu baca puisi ini? Yes I did banget lah. Dan tau ga, yang buat ini adalah Jenderal yang mempunyai strategi 'Katak Loncat' untuk membalas penyerangan Jepang atas Pearl Harbour. Inget pelajaran sejarah kelas 9? Yap, dia adalah Jenderal Douglas McArthur.
Pertama kali aku baca puisi ini kalo ga salah kelas 1 SD. Aku baca puisi ini di agenda nya Bapak, dan aku inget waktu itu bapak bilang, "Nak, kalo setiap sholat bapak berdoa ini buat kamu". Dan waktu aku SD dengan polosnya aku takjub karena bapakku bisa mengfal puisi ini dan mengulangnya 5 kali dalam sehari demi aku. Padahal bukan gitu, maksudnya adalah, setiap intisari doa yang dipanjatkan Bapak isinya kurang lebih kaya puisi itu. Ha -___-. Puisi 'Doa Seorang Ayah' ini bener-bener menginspirasi bukan hanya untuk kaum bapak yang ingin mendoakan anaknya, tapi juga untuk anak-anak agar berusaha menjadi seperti anak yang didoakan dalam puisi itu, yang akhirnya bisa membuat ayahnya berbisik bahwa hidupnya tidaklah sia-sia.


Bahasa itu indah, puisi itu indah, hidup itu......indah? 


Malam, semuanya. :)