Sabtu, 29 Oktober 2011

Mencakar Langit

Umpamakan aku adalah sebuah calon gedung pencakar langit. 

Ya, calon. 

Semen, bata, besi dan bajanya adalah barang-barang kualitas terbaik meski bukan termahal.

Lantai demi lantai terus dibangun. Meningkat. Meningkat. 

Tinggi, tinggi dan tinggi. Sampai-sampai orang-orang harus menengadahkan kepala mereka jika ingin melihat lantai teratas gedung ini. 

Semen terus diaduk, batu-bata dicetak, besi dan baja disusun sedemikan rupa agar gedung bisa berdiri tegak.
Konstruksi yang kokoh, arsitektur yang indah. Ini akan menjadi gedung yang amat megah.

Namun pada suatu hari, tanpa pertanda tanpa disangka datanglah sebuah gempa bumi. 

Gempa bumi yang meluluh lantakan si calon gedung pencakar langit.
Teganya, gempa hanya menyisakan sedikit bagi gedung itu. Ia hanya menyisakan fondasi yang rapuh dan puing-puing kaca yang sempat berkilau hanya sesaat sebelum gempa menghancurkan semuanya. Sisanya? Hancur berantakan, hancur tak keruan. 

Gedung bersedih. Bagaimana ia bisa meneruskan mencakar langit apabila kini ia sibuk dengan mengumpulkan puing-puing dirinya sendiri, menata ulang yang telah hancur dan membersihkan debu-debu yang ditinggalkan gempa. Sedangkan, gedung lain bisa meneruskan pembangunan tanpa gangguan yang berarti.

Si calon pencakar langit tertinggal. 

Terdiam ia karena putus asa. Habis pikir dan hilang akal akan apa yang akan ia lakukan untuk membangun semuanya dari awal lagi. Dari nol kembali. 

From zero nearly to be hero but come back to zero again.

Lama ia terpaku dalam kesedihan hingga lama kelamaan, seiring dengan berjalannya waktu ia akhirnya tahu apa yang harus ia lakukan.

Akhirnya, setelah sekian lama. Sekian lama memeras otak, si calon gedung mendapatkan jalan keluar.
Yang harus ia lakukan adalah: memperkuat fondasi dan kerangka bangunan. Artinya, ia akan memperkuat fondasi dan kerangka dirinya sendiri.

Pembangunan dilanjutkan, walaupun ia sudah banyak tertinggal.

Biarlah.

Biarkan saja gedung lain sudah tinggi, sudah mulai memantulkan sinar terang dari lampu-lampu jalanan.

Biarlah.

Biarkan gedung lain sudah mencakar langit sedangkan dia masih berusaha untuk memperkuat fondasi.

Satu yang membuat 'si mantan gedung putus asa' ini yakin adalah, bila nanti gempa datang lagi, badai atau angin topan yang berlalu menyapa; ia-tidak-akan-tumbang-lagi. Ia akan tetap kokoh berdiri tegak karena ia mempunyai fondasi dan kerangka yang lebih kuat dari sebelum ia hancur. 

Dan pembangunan pun terus berlanjut, dan akan terus berlanjut hingga akhirnya si calon gedung pencakar langit ini sudah bukan 'calon' lagi melainkan sudah menjadi gedung pencakar langit yang sesungguhnya. Hingga akhirnya ia berdiri dan tidak hanya memantulkan sinar lampu jalanan saja, tapi memancarkan sinarnya sendiri.

Terang namun hangat. Berkilau namun tidak menyilaukan mata. 

Menerangi sekitarnya.

Menjadi tempat berlindung bagi siapa pun yang tinggal di dalamnya.